Tuesday, February 4, 2014

Farewell with My Baby Part 1

Akhir Oktober 2011. Saat mayoritas mahasiswa AR yg baru lulus sedang galau-galaunya mau ngapain setelah wisuda; tiga orang anak gw, Jess, dan Way justru sibuk memulai "sekte" kami, sebuah konsultan arsitektur.

Nekat? Banget. Tanpa persiapan, hanya bermodalkan nekat dan ijazah S1, kami mulai merintis Discover.
Berminggu-minggu berkeliling Bandung, mencari tempat yg cocok untuk Discover. Siang kami berkeliling, sore hingga malam kami ngebut mengerjakan proyek demi bertemu klien. Tapi, toh kami senang-senang saja, arsitek mana yg tidak memimpikan punya konsultan sendiri?
Dan gw merasa sebagai salah satu arsitek yg beruntung, karena gw bisa mewujudkan impian itu, tepat sesaat setelah wisuda.

Alkisah; gw, Jess, dan Way akan tanda tangan kontrak dengan pemilik ruko. Kami bertemu notaris untuk revisi kontrak di hari selasa.
"Kita ketemu lagi kamis, ya. Buat penyelesaian dan pengurusan surat-suratnya," kata Tante Notaris.
"Wah, kamis gak bisa, tante. Ada gladiresik wisuda." Jawab gw sambil cengengesan.
Tante Notaris dan Tante Pemilik Ruko berpandangan bingung, "Loh, siapa yg wisuda?"
"Kami, tante." Kami menjawab serempak.

Mungkin saat itu Tante Pemilik Ruko langsung khawatir dengan nasib rukonya. Tiga anak yg baru mau wisuda ini akan menyewa ruko untuk kantor. Ya ampun, mungkin mereka udah gila.

Singkat cerita, kami mulai mengisi dan merenovasi ruko yg seharusnya toko dan gudang penyimpanan, menjadi kantor konsultan arsitektur. Atas seizin Tante Pemilik Ruko, kami mengganti tangga yg gak manusiawi dan tanpa railing, menjadi lebih terdesain dengan bordes yg cukup nyaman. Pintu kaca pun dipesan, meja dan kursi didesain sendiri dan dibuat oleh tukang kami. Satu persatu kebutuhan mulai dilengkapi. Cerita-cerita lucu pun selalu mengalir.

Percakapan ini terjadi pada suatu hari ketika gw dan Jess akan memesan kaca untuk meja rapat.
"Atas nama siapa, mbak?" Tanya Mbak Penjaga Toko.
"Discover, mbak." Jawab Jess dengan pelafalan discover versi bahasa inggris.
"Oke, mbak. Nanti dikirim kacanya ke Discover." Kata Mbak Penjaga Toko sambil menulis di bukti pembayaran.
Gw terkikik menahan tawa. Jess sampai menyikut sambil mesem-mesem menahan tawa juga. Ternyata Mbak Penjaga Toko ini menulis Discover dengan ejaan sunda asli, yaitu "Diskaper". Ealah, mbak ini loh. Nama udah oke, kok diubah-ubah.

November 2011, belum genap sebulan Discover di ruko, Way memutuskan untuk berpisah dari kami. Dia keterima kerja di Shanghai, kurang gaul apa si Way ini coba? Tapi tqk mengapa, Way punya mimpi dan tanggung jawab yg lebih besar sebagai cowok.

Gw dan Jess melanjutkan Discover berdua aja. Ke kantor berdua, di kantor berdua, cari barang untuk mengisi kantor berdua, ketemu klien berdua, sarapan sampai makan malam pun berdua. Hampir 24 jam berdua. Mungkin orang-orang akan bingung, dimana ada Jess disitu ada gw. Begitu juga sebaliknya.

Menjalankan Discover di bulan-bulan awal itu tidak mudah, kami masih terkendala sumber daya dan kemampuan. Dari sini kami jadi tersadar bahwa nekat dan selembar ijazah S1 ternyata tidak bisa membesarkan Discover. Maka beberapa keputusan pun diambil, antara lain dengan mendaftarkan Discover sebagai CV dan mendaftarkan diri kami di MBA ITB.

Lompatan-lompatan bulan selanjutnya sangat extrem bagi kami. Mulai dari rapat dengan CEO-CEO yg usianya setara dengan ayah kami, hingga tantangan untuk mulai merekrut arsitek untuk bekerja di Discover.

Pun begitu, saat kami memulai MBA. Gw yg biasanya tiap hari ketemu Jess, tiba-tiba baru ketemu 3 hari kemudian di kampus. Apa yg terjadi? Kami berteriak dan berlari dari ujung satu ke ujung lainnya untuk menyambut satu sama lain. Kami berpelukan di tengah lobi. Bukan lebai, tapi memang begitu adanya. Hahahaha.

Hari-hari selanjutnya memang lebih naik dan turun. Tapi yg namanya hidup, tetap saja harus dijalani.

No comments:

Post a Comment