Apa rasanya berada di ruang OK sendirian, mendengarkan penjelasan dokter dengan subjek papa sendiri?
Seram.
Lemas.
Pengen nangis.
Pun saat keluar dari ruangan itu dan menemui mama yg sudah menunggu penjelasan gw.
Apa yg harus gw katakan dahulu?
"Mom, alhamdulillah operasi papa selesai."
Tapi.
"Mom, sumbernya belum ketemu. Ini baru awal, bukan akhir dari sebulan penuh kita mencari penyakit papa"
Lalu.
"Mom, jika saja kita telat, nyawa papa taruhannya. Ternyata, ini bukan penyakit biasa."
Memang bukan. Dengan seliter nanah dan keadaan usus yg lengket dimana-mana, tentu saja ini serius.
Lalu teringat kata-kata dokter tadi di dalam ruangan, "kenapa kamu bisa membiarkan ayahmu menahan rasa sakit sedemikian rupa selama ini? Ini sudah lama. Saya harus akui ini kasus yg berat."
Maka gw memutuskan untuk tak menceritakan ini ke mama maupun papa. Melihat mama yg menangis pilu mendengar proses penyembuhan papa yg baru awal saja sudah cukup membuat gw lemah. Mama menangis diantara bulek dan budhe yg memeluknya. Situasi ini yg membuat gw gak bisa menangis.
Gw tau, dengan situasi ini maka semua hal harus gw urus. Mulai dari papa dan segala administrasi rumah sakit. Menenangkan mama yg menangis setiap bertemu orang, yang bahkan gak bisa bercerita namun hanya isak. Belum lagi nenek yg setia menunggu sampe gw pulang, mulai pikun dengan bertanya kondisi papa berulang kali. Juga adek-adek yg mau uts.
Mom, you are the best. Selama ini mama bisa mengatur semuanya. Sementara gw kalang kabut. Sibuk atur ini itu. Ditambah dengan mas pacar yg lgi sakit.
Mungkin ini cobaan sebelum menikah. Dimana gw harus dapat menempatkan keluarga gw, bersanding dengan keluarga baru gw nantinya. Dimana gw harus mengatur prioritas, apakah suami atau ayah yg nomor satu kelak. Dimana hati gw harus diasah, untuk menajamkan empati dan simpati terhadap sesama.
Sesak rasanya ketika keesokan pagi, melihat papa terbaring dengan beberapa selang di tubuhnya. Mulai dari selang oksigen, selang infus di kedua tangannya. Serta selang-selang lain diperut. Gw gak pernah liat papa sakit. Bahkan sebelum operasi pun papa gak pernah mengeluh berlebihan. Mungkin jika seandainya gw yg terbaring disana, gw akan mengeluh terus setiap saat. Bayangkan saja, jerawat bernanah saja gw akan rewel terus menerus. Apalagi punya nanah satu liter dengan usus lengket.
Papa, you are my hero. Papa tau mama akan sedih terus menerus kalo beliau tidak kunjung sembuh. Papa tau gw pada saatnya akan gak kuat dan menangisi papa yg terbaring lemah. Maka senyumannya yg khas itu lah yg selalu ia berikan. Tidak ada kata keluhan, tidak pernah ia merintih, tidak juga ia meributkan ketidaknyamanan selang-selang yg membantunya terus hidup. Hanya senyuman.
Lalu bagaimana gw bisa mengeluh?
Pap, aku capek bolak balik RS.
Pap, aku sedih ngeliat mama nangis terus.
Pap, aku bosen menjelaskan ke nenek yg mulai pikun tapi perhatian ke papa. Mungkin dalam 1 jam, nenek bisa bertanya 5x.
Pap, aku gak tau gimana cara ngurus rumah.
Pap, aku gak sempet ngajarin adek-adek bahan ujian mereka.
Pap, cepet sembuh ya.
Sampai beberapa hari setelah papa semakin membaik, gw masih menyembunyikan beberapa fakta termasuk kondisi papa sebenarnya saat operasi. Beberapa kali gw harus menceritakan kronologis dan diagnosis yg papa alami ke temen-temen papa yg dokter. Komentar mereka pun sama, mempertanyakan kenapa hampir terlambat dengan tingkat kasus yg berat. Bukan, bukan. Gw dan keluarg gw bukan tidak melalukan apa-apa. Namun segala upaya telah kami lakukan semenjak papa pertama kali sakit sebulan yg lalu. Hanya takdir yg memperlihatkan di detik-detik terakhir kondisi papa kemaren. Alhamdulillah tidak telat. Alhamdulillah Allah masih sayang papa. Alhamdulillah masih diberikan kesempatan untuk kembali kepada kami.
Mama menyebutnya a new life. Babak baru dalam kehidupan papa. Pada kehidupan kami. Pada kehidup gw.
No comments:
Post a Comment